Minggu, 15 April 2007

MENGAPA DATANG KE ACEH ?



Muhammad Irdan.AB



Ke Aceh sejak Agustus 2006, ditugaskan oleh Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) untuk sebuah program tata pemerintahan bernama Aceh-Nias Governance Enhancement Program (ANGEP) kerjasama lembaga donor USAID.

Ketika ada kesempatan untuk ikut berikhtiar membangun kembali Aceh dari kehancuran, saya menganggapnya sebagai peluang emas untuk melanjutkan studi di “universitas kehidupan” dan ingin menjadi bagian kecil dari solusi terhadap pemulihan Aceh dari kehancuran. Aceh sebagai salah satu “universitas kehidupan” terbesar di Indonesia karena Aceh sudah menjadi sebuah laboratorium penanganan bencana nasional, selain itu dia juga menjadi laboratorium resolusi konflik, dan kultur di Aceh sangat khas dengan kearifan lokalnya.


Jadi yang menggerakkan saya ke Aceh adalah panggilan profesi saya sebagai seorang fasilitator pemberdayaan masyarakat dan advisor tata pemerintahan daerah yang saya geluti sejak tahun 2000. Juga, jiwa petualang dan panggilan kemanusiaan serta dorongan untuk ikut mengembangkan kultur keistimewaan Aceh yang bisa menjadi contoh terbaik bagi pembangunan di daerah lain. Saya melihat kultur Aceh mempunyai banyak kesamaan dengan kultur Bugis-Makassar. Ketika berada di Kota Langsa (Aceh bagian timur) proses adaptasi saya dengan masyarakatnya sangat mudah, dan tidak ada resistensi sama sekali.

Di Aceh Timur saya bergaul dengan berbagai kalangan, mulai dari ABG, aparat pemerintah sampai aktivis, termasuk aktivis GAM. Tugas saya di Aceh Timur adalah melakukan pendampingan terhadap pengembangan tata pemerintahan khususnya penguatan kapasitas aparat pemerintah di tingkat kecamatan. Di masa lalu, Aceh Timur merupakan basis konflik terutama di daerah yang saya dampingi yakni Kecamatan Darul Aman, Julok dan Simpang Ulim. Kesan saya, meskipun konflik telah berakhir dengan ditandatanganinya MoU Helsinki, masih menyisakan permasalahan sikap apatis masyarakat terhadap perubahan. Olehnya itu agenda paling utama saat ini adalah memulihkan kepercayaan mereka dan merangsang semangat keswadayaan mereka untuk membangun.

Masih kuat kesan bahwa Jakarta adalah penipu. Pernyataan itu kerap saya dengar pada perbincangan dan diskusi di warung kopi. Krisis kepercayaan mereka juga bisa dipulihkan apabila pemerintah serius menerapkan otonomi/kemandirian kepada rakyat Aceh. Kesan yang lain, paska pengesahan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh), institusi lokal masyarakat yang pernah mati berupaya dihidupkan kembali seperti sebutan geucik untuk kepala desa, sebutan gampong untuk desa, kemudian di bawah camat ada mukim yang dipimpin oleh seorang imum mukim membawahi beberapa gampong. Ketika akan dihidupkan kembali, semuanya seperti menjadi barang asing yang perlu disosialisasikan lagi kepada aparat yang telanjur akrab dengan budaya sentralistik Orde Baru. Kesan saya, perdamaian di Aceh merupakan suatu anugerah khususnya di Langsa tempat saya berdomisili.

Tingkat kriminalitas sangat minim. Selain polisi, di Aceh dikenal adanya WH (wilayatul hisbah atau polisi syariat) yang bertugas mengawal Qanun (Peraturan Daerah) yang terkait dengan penegakan syariat Islam. Misalnya apabila ada sepasang muda-mudi yang berkhalwat, maka akan diproses oleh polisi syariat (Qanun 14). Pengemudi mobil umum yang tidak memberi kesempatan kepada penumpang untuk melaksanakan shalat duhur, akan dicabut surat izin usahanya (Qanun No 11 ). Di Langsa dan umumnya wilayah lain di Aceh, tidak ada tempat hiburan malam. Tak ada bioskop. Yang marak adalah kafe jalanan yang buka hingga pukul 02.00 dinihari, yang menyuguhkan berbagai hidangan seperti layaknya di pantai Losari Makassar dahulu.


M. Nasri
Saya orang Wajo, Sulsel, yang kini bekerja di Aceh. Saya ikut dalam program Aceh Technical Assistance Governance Program melalui lembaga A-TRAP dan bertugas di Lamno. Saya datang sejak April 2006. Motivasi utama saya adalah untuk menambah pengalaman dalam program asistensi perbaikan pelayanan aparat terhadap masayarakat (service delivery improvement). Selain itu saya ingin belajar bagaimana membangun masyarakat sipil yang demoktratis di Aceh. Saya ingin tahu, apakah pengalaman Aceh ini memungkinkan untuk diterapkan ke daerah saya di Wajo yang saat ini terdengar adanya keinginan untuk menegakkan syariat Islam.


A. Muhammad Jayadi
Saya asal Makassar dan kini bertugas di Banda Aceh. Saya bekerja untuk Program UPC UPLINK (Urban Poor Linkage) bagian logistik. Saya sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Dulu ke Aceh sebagai relawan tsunami bagian distribusi logistik, diutus oleh Pemerintah Propinsi Sulsel. Saat ini aktif sebagai staf pendistrubusi barang (besi) untuk keperluan pembanguanan rumah di UPC UPLINK.

Saya ke Aceh, selain ingin menambah pengalaman kerja, memperluas pergaulan, juga ingin menjejaki kemungkinan untuk membangun usaha dalam jangka panjang. Saya ingin menjadikan Aceh sebagai kampung kedua saya setelah Makassar.(p!)

*Citizen reporter M. Irdan AB

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar