Minggu, 15 April 2007

ACEH HARI INI



Dari PANYINGKUL (Jurnalisme Orang Biasa)



Merpati Putih,
Jelajahilah dunia ini
Hembuskan udara baru
Yang kau hirup dari malam
Biar bunga-bunga mekar menguncup
Biar bibir-bibir segar tersenyum.

Demikian sepenggal kutipan lagu yang sering terdengar di pasar, warung-warung kopi, rumah dan tempat lainnya di Aceh dengan suara khas melayu Rafli (Penyanyi lokal Aceh). Tzunami, selain menjadi sebuah bencana nasional yang telah meluluh lantakkan Aceh, juga mengandung hikmah mempercepat terwujudnya perdamaian di Aceh melalui MoU Damai Helsinki. Kelelahan akibat konflik berkepanjangan dan bencana, akhirnya mengembalikan Nangroe Aceh Darussalam kembali ke fitrahnya semula. Semua pihak di Aceh menyatakan bahwa kedamaian itu ádalah barang mahal dan berharap semoga Aceh damai untuk selama-lamanya.

Lagu Rafli ini mengisyaratkan bahwa permasalahan konflik di Aceh tidak pernah terselesaikan apabila didekati dengan pendekatan politis. Pendekatan kemanusiaanlah yang bisa menyelesaikannya. Semoga Aceh bisa menjadi pelajaran kultural bagi penyelesaian konflik di daerah lain di nusantara.

Saat ini Aceh kembali menjadi virgin area. Sebuah kesempatan emas untuk melakukan rekonstruksi bukan hanya fasilitas fisik, tapi semangat, trust, pranata sosial, tata pemerintahan, dan lain-lain yang tentunya harus dihindari terjatuh dilubang yang sama untuk kedua kalinya. Dengan kata lain, tanpa harus mengkambinghitamkan sebuah kambing (satu pihak), sejatinya kita belajar dari kesalahan masa lalu dalam menata pembangunan yang telah melahirkan kesenjangan, kekerasan, ketakberdayaan masyarakat, matinya intitusi dan pranata lokal, serta tercurinya hak-hak dan kesempatan masyarakat untuk mandiri.


Ada sebuah tesis yang sudah kita kenal “tidak berubah nasib suatu kaum kalau bukan ia sendiri yang merubahnya ”.Artinya kalau dia petani “ tidak akan berubah nasib petani kalau bukan petani sendiri yang merubah nasibnya”. Des Tidak akan berubah nasib rakyat Aceh kalau bukan rakyat Aceh sendiri yang merubahnya”. Dengan kata lain orang dari luar Aceh selayaknya jangan merasa lebih tahu permasalahan di Aceh dari orang Aceh sendiri, kemudian membuat formula pembangunan di Aceh yang sama sekali tidak menyentuh substansi masalah masyarakat.

Penataan Aceh yang selama sekian tahun tidak berbasis kepada kepentingan rakyat Aceh telah melakukan pembunuhan karakter (carácter assesination) terhadap kultur keistimewaan Aceh sendiri. Realitas membuktikan bahwa saat ini Aceh sudah relatif aman dan damai saat pengelolaan keamanan di serahkan kepada masyarakat Aceh sendiri. Aceh be aman, be’lero dara, seramo mekkah bukong agama (Semoga Aceh aman, jangan ada lagi darah yang tumpah, semoga serambi mekkah kuat agamanya) demikian dilantunkan oleh Rafli.

Adapun statement Kepala Badan Intelejen Nasional (BIN), Syamsir Siregar tentang terdapat potensi terjadinya konflik berskala besar dalam Pilkada di Aceh, ternyata itu sekedar pernyataan yang tidak menjadi kenyataan, karena dalam realitas tidak ada indikasi yang mengarah ke hal tersebut.

Melalui semangat Aceh yang baru, penguatan institusi dan kearifan-kearifan lokal masyarakat yang selama ini terbunuh, saat ini dihidupkan kembali semoga menjadi awal untuk mengakhiri segala bentuk kejahatan dan pelangaran HAM yang ada di Aceh dan memulai udara baru seperti yang digambarkan oleh Rafli dalam lagunya yang mewakili perasaan Rakyat Aceh.
(Langsa, 26 November 2006 )

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar