Sabtu, 09 Mei 2009

Electabilitas Koruptor


Berita tidak lolosnya sebahagian kecil incumbent legislatif di Pemilu 2009 ini, yang digantikan oleh energi dan harapan baru, tentu merupakan setitik harapan bagi kemajuan legislatif menuju legislatif yang lebih berperadaban. Pepatah melayu yang berbunyi “sekali lancung di ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya” selayaknya dilembagakan dalam kehidupan masyarakat. Namun nampaknya, kampanye PARLEMEN BERSIH, belum begitu efektif dan kurang mempunyai pengaruh terhadap pilihan publik pada Pemilu 2009 ini. Citra “parlemen bersih” meski merupakan kebutuhan, ternyata tidak serta merta menjadi “human obsesion”. Ini bukan over generalisasi, tapi inilah hasil analisis sederhana saya terhadap fakta prilaku Pemilih dari hasil Pemilu 2009. Popularitas sebahagian figur incumbent legislatif yang terkait dengan skandal suap dan korupsi yang saat ini dalam proses hukum, atau di masyarakat telah memiliki citra “koruptor”. ternyata masih memiliki elektabilitas yang sangat tinggi. Mengapa ? karena pemilu kali ini belumlah pemilu yang merepresentasikan aspirasi yang berasal dari kesadaran kritis masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa perolehan suara atau elektabilitas caleg itu pada umumnya masih merupakan hasil dari pola-pola mobilisasi dukungan yang tidak sehat, bahkan mengabaikan aspek moralitas. Berita tentang money politic, pembelian dan penggelembungan suara dan berbagai skandal lainnya yang sudah bukan rahasia umum adalah warna kelam terhadap masih lemahnya sistem pemilu kita dalam mengantisipasi beragai tindak kecurangan.

Pendidikan politik atau pendidikan demokrasi tidak dijalankan oleh partai politik. Partai politik masih lebih cenderung menjadi agent hegemoni kekuasaan yang hanya bisa berbicara tentang “demokrasi prosudural” sebagai alat bagi pengurus partai dan kroni is begundelnya untuk menyalurkan syahwat kekuasaanya. Tidak terkecuali apakah partai itu dikendalikan oleh orang yang bergelar kiyai atau bukan, apakah partai itu mengklaim diri memperjuangkan syariat agama tertentu atau tidak, umunya telah terjerembab dalam arus demoralisasi wacana publik, de-ideologisasi dan pragmatisme politik machiavelis (tujuan menghalalkan segala cara), dan dengan demikian peranan partai semakin jelas menjadi ujung tombak pelembagaan KKN di negri ini.

Lalu apa yang bisa di harapkan dari legislatif produk sistem yang korup ini ? Jika tidak ada perubahan sistem mendasar yang bisa men-setup partai sebagai ujung tombak institusionalisasi politik yang berperadaban dan profesional, dan sebagai filter pertama pemberantasan korupsi, maka nasib reformasi dan kemaslahatan rakyat pun akan tetap terseok-seok, merangkak dan merayap dibawah pergumulan politik kepentingan kekuasaan semata. Implikasinya rakyat semakin skeptis, apatis, pesimis bahkan menjadi masyarakat pragmatis (pragmatig society), dimana rakyat pragmatis akan menghasilkan pemimpin-pemimpin pragmatis pula.

Selain perbaikan sistem dan mekanisme, agenda yang sangat mendesak adalah perlunya langkah purifikasi di setiap internal partai politik dalam rangka mengurangi resiko epidemiolgi virus machiavelisme yang memang sudah mulai tumbuh dan berkembang. Nah ini mungkin menjadi pekerjaan berat, karena ada rumus “tidak ada orang yang dengan ikhlas melepaskan kekuasaan yang sudah digenggam”. Termasuk partai sebagai miniatur kekuasaan negara. Namun tuntutan furifikasi itu juga adalah hukum alam, yang selain alam sendiri akan menyelesaikannya dituntut kepedulian kita yang masih percaya kepada hukum alam untuk bertasbih dan tetap mengumandangkan azan perubahan. Furifikasi adalah sebuah keniscayaan.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar