Selasa, 01 Januari 2008

Reformasi dan Desakralisasi


Catatan awal tahun, refleksi dan evaluasi perjalanan reformasi


Tahun 2008 reformasi di Indonesia genap berusia 10 tahun. Kalo kita hitung-hitung titik tangkap dalam sejarah perubahan di dunia ini tak terkecuali di Indonesia, maka akan kita temukan satu kata, yakni "desakralisasi". Gerakan Reformasi di tanah air lahir sebagai titik balik dari sistem orde baru yang mesakralkan status quo yang mengkangkang seluruh aspek kehidupan.

Jelaslah bahwa status quo bisa bertahan lama karena sakralisasi. Sakralisasi 5 Paket UU Politik selama kepemimpinan suharto menjadi harga mati. Sakralisasi kepemimpinan nasional sehingga haram berbicara sukesi kepemimpinan. Sakralisasi UUD-45 sehingga tabu untuk melakukan amandemen. Dan sakralisasi lainnya telah melahirkan sentralisme, oligarki, penapian aspirasi rakyat, dll.

Upaya sakralisasi itu telah menyumbat keran-keran perubahan, sehingga krisis multi dimensional datang tidak terbendung lagi semakin menyengsarakan rakyat. Maka gerakan dan tuntutan reformasi pun datang bak air bah yang tumpah membasahi pertiwi, melakukan desakralisasi.

Desakralisasi pertama adalah suksesi kepemimpinan nasional yang sukses tanpa pertumpahan darah, meretas mitos " yang bisa jadi presiden hanya orang yang berpengalaman jadi presiden, dan Pergantian kepemimpinan akan berdarah-darah". Syukurlah saat ini kita sudah berulang kali malakukan suksesi nasional pasca suharto dengan damai. Suksesi kepemimpinan nasional sudah bukan lagi barang sakral.

Desakralisasi kedua adalah Penghapusan 5 Paket UU Politik, yang membuka peluang status quo bisa di akhiri. Terlepas dari masih banyaknya kelemahan UU yang baru, kita lihat iklim demokrasi saat ini sudah mulai terbuka. Aggota parlemen tidak ada lagi yang ditunjuk, tapi semua lewat proses pemilihan, TNI pun sudah hengkang dari dunia parlemen. Selain itu Pemilu multi partai sudah dapat di laksanakan dengan pelaksana pemilu yang independen yakni KPU, bukan lagi dari kalangan pemerintahan. Kebebasan pers pun sudah menjadi iklim yang luar biasa majunya saat ini. Tidak ada lagi istilah breidel. Masih segar dalam ingatan kita yang menentukan mati-hidupnya sebuah produksi media seperti koran adalah departemen penerangan, sekarang yang menjadi faktor penentu adalah hukum ekonomi, kalo korannya kurang di minati, maka tidak laku, dan bisa bubar.

Desakralisasi ketiga, yakni otonomi daerah. Kekuasaan yang dulu satu, terpusat dan seragam, kini mulai digulirkan dari pusat ke daerah dan dari pemerintah ke masarakat. Meski disana sini masih beragam permasalahan yang mewarnainya dan masih bernuansa desentralisasi setengah hati, akan tetapi pemberian kewenangan kepada daerah, masyarakat dan motivasi bangkitnya kearifan lokal sudah bukan barang haram lagi.

Setelah semua keran politik terbuka. Maka makin muluslah jalan untuk melakukan desakralisasi yang ke empat yakni Amandemen UUD-45. Salah satu hasil dari amandemen tersebut yang dapat dirasakan adalah Pilpres, Pilgub dan Pilkada langsung. Partisipasi rakyat semakin terbuka dalam menentukan siapa pemimpinnya, meski kita lihat partisipasi itu, pada umumnya masih diwarnai oleh mobilisasi masyarakat.

Walaupun berbagai desakralisasi telah kita lewati bersama, sirik politik sudah semakin berkurang, namun ada problmatika baru yang mulai menjamur dengan cepat, sebagai anak yang lahir dari "reformasi setengah hati". Pertama, kekuasaan pusat hingga daerah yang lahir saat ini adalah kekuasaan politik yang kompromistis dan hegemoni. Pengisian jabatan menteri dan jajarannya di pusat, kepala dinas dan jajarannya di daerah, cenderung merupakan hasil kompromi politik kekuatan elit eksekutif, elit parlemen dan partai, untuk menciptakan kondisi "aman" dalam menjalankan pemerintahan. Lahirnya koalisi-koalisi politik orientasinya bukan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi tidak lebih dari sekedar bagi-bagi kue kekuasaan. Dalam hal ini pertimbangan profisionalisme sangat-sangat di nafikkan.

Kedua, Realitas kepartaian di era multi partai ada kecendrungan ikut dengan pola permainan kekuasaan status quo, melakukan mobilisasi politik untuk merebut kekuasaan, membagi kue pembangunan secara tidak halal dan lupa akan kemiskinan dan penderitaan rakyat. Ada sebuah norma yang terbangun secara massif melalui institusi politik nasional yang disadari atau tidak, telah melembagakan pola politik machiafelisme (Tujuan menghalalkan segala cara). Sehingga partai-partai nasional yang ada cenderung menjadi ageng KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dari pusat hingga ke daerah. Salah satu faktor penyebab lahirnya partai politik lokal di Aceh karena saudara-saudara kita di Aceh menganggap bahwa sudah susah merubah mentalitas politik "Partai Nasional" yang hanya menjadi agent pelembagaan KKN.

Ketiga, otonomi daerah, seperti yang telah di duga sebelumnya, telah melahirkan raja-raja kecil di daerah dan cenderung menjadi proses deseantralisasi KKN dari pust ke daerah.
Keempat, upaya kelamnya penegakan hukum di tanah air. Saya kira ini tidak perlu diulas panjang. Karena kita sudah tahu semua bahwa penegakan hukum di Indonesia hanya layak diliput dalam rubrik "Aneh tapi nyata", karena hukum kita masih bercorak hukum "Flora dan fauna", maka jangan heran bila rasa keadilan masyarakat itu masih dalam tataran "mimpi kali ye".

Mengutip Statement Eep Saifullah Fatah (Kompas,06-11-2007) " Di suatu sisi mereka berjasa menghasilkan kemajuan prosudural dalam demokrasi kita, Namun disisi lain, secara mencemaskan mereka menghasilkan apa yang disebut Anton Steen dan Juri Ruus (2002) sebagai gejala perubahan rezim dan kesinambungan elite".
Penyelesaian masalah bangsa yang bersifat parsial dan tidak bersifat sistemik itu justru membantu kekuatan orde baru untuk kembali survive ke pentas politik nasional sebagai faktor dominan dalam penentuan regulasi dan pelembagaannya secara nasional hingga ke tingkat daerah, dan ketika pemikiran reformasi mengalami degradasi secara devenitif dan mati suri, maka inilah realitas pembusukan sosiologis yang memicu munculnya gerakan-gerakan yang melakukan desakralisasi yang berikutnya yaitu menggugat eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Boleh jadi salah satu faktor penyebab beberapa gejolak daerah di tanah air yang masyarakatnya mempunyai kehendak memisahkan diri dari NKRI seperti RMS di Maluku, GPM di Papua, GAM di Aceh, selain karena kesenjangan yang menganga lebar, juga karena menganggap NKRI tidak relevan lagi terhadap penyelesaian masalah bangsa.
Bukankah tema tentang bentuk negara NKRI itu kita rasakan masih tema yang sakral saat ini ? atau bahasa lainnya adalah " NKRI adalah suatu rumusan yang final". Tapi apa salahnya itu di wacanakan untuk kesejahtraan "rakyat" sebagai pemilik kedaulatan bangsa ini. Karena jangan-jangan kata "final" itu justru menjadi penyumbat keran bagi penyelesaian masalah bangsa.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar